Oleh: Nahdliyyatul Azimah
(@nahdliyyah_azimah)
Kota Surabaya dikenal dengan julukan Kota Pahlawan.
Kota ini juga tergolong kosmopolitan karena terdiri dari berbagai suku urban,
misalnya Madura, Jawa, Batak, Bugis, Minang, Melayu, Arab, Eropa, Tionghoa, dsb.
Adapun salah satu suku yang paling berpengaruh di kota Surabaya dalam sektor
ekonomi adalah suku Tionghoa.
Setiap kota yang dihuni oleh keturunan Tionghoa
pasti terdapat kawasan perdagangan, misalnya kuliner. Jika di Semarang terdapat
Semawis, dan di kota Bandung terdapat Paskal, maka di Kota Pahlawan terdapat
Kya-Kya yang berlokasi di sepanjang jalan Kembang Jepun yang dulunya sempat
difungsikan sebagai kampung kuliner malam hari khas pecinan. Sentra kuliner
khas pecinan Surabaya dahulunya diresmikan oleh mantan Menteri BUMN, Dahlan
Iskan pada tanggal 31 Mei 2003 yang bertepatan dengan HUT Kota Surabaya.
https://jesuskarto.wordpress.com/tag/foto/
Dilansir dari Wikipedia, kawasan sentra kuliner
khas Tionghoa di Surabaya tidak seberuntung di kota Semarang dan Bandung.
Program pemerintah kota Surabaya ini rupanya tidak mendapat dukungan yang kuat
dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh warga kota Surabaya sendiri.
Akhirnya, kawasan Kya-Kya tidak bertahan lama. Kondisi malam hari di sana
kurang penerangan dan rawan kejahatan. Berbeda dengan kondisi siang hari yang
sangat sibuk dengan aktivitas perdagangan.
Penulis mengamati salah satu nilai kehidupan yang
tercermin dari warga Tionghoa khususnya di kota Surabaya adalah etos kerjanya
yang tinggi. Selain itu, mereka ulet dan pandai melihat peluang pasar. Hal
tersebut terbukti banyak keturunan Tionghoa yang meramaikan sektor niaga dan
bisnis di kota Surabaya yang tersebar di berbagai pasar tradisional maupun
modern, di samping mereka juga banyak menggeluti usaha properti dan
konstruksi.
Penulis memandang kultur kehidupan
warga keturunan Tionghoa di Surabaya sangat guyub. Bahkan, terdapat sebuah
asosiasi perkumpulan warga Tionghoa di sini, atau dikenal dengan
"Perhimpunan Indonesia Tionghoa" disingkat PIT yang berlokasi di Jl.
Karet Surabaya. Selain itu, terdapat paguyuban muslim Tionghoa atau yang disingkat
dengan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) cabang Jawa Timur dengan ikon
masjid arsitektur Tionghoa yang didominasi warna merah dan terletak di Jl. Gading Surabaya. Jika kita berkunjung ke sana, nampak di halaman masjid tertera donatur yang terlibat dalam pembangunan
masjid tersebut. Tak hanya orang Tionghoa muslim saja yang berkontribusi di
sana, namun para pengusaha-pengusaha Tionghoa non-muslim dari berbagai
perusahaan dan pabrik ternama di Indonesia juga mendominasi dalam berkontribusi
untuk masjid tersebut.
No comments:
Post a Comment