Dok. History Nusantara |
Beberapa kosakata bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa tanpa perubahan makna, antara lain: asma (asmā’) ‘nama’, bakdo (ba’da) ‘setelah’, bathin (bāţin) ‘batin’, dhayo (ḍuyūf) ‘tamu’, dongo (du’ā’) ’doa’, eklas (ikhlās) ‘ikhlas’, ngapuro (ghafara) ‘memaafkan’, paham (fahm) ‘paham’, kuburan (qubūr) ‘makam’, siyam (ṣiyām) ‘puasa’, wektu (waqt) ‘waktu’, pekir (faqīr) ‘fakir’, Senɛn (iśnain) ‘Senin’, Selasa (śulaśa), Rebo (arbi-ā’) ‘Rabu’, Kemis (Khamis) ‘Kamis’, Jumuwah (Jumu’ah) ‘Jumat’, Saptu (Sabt), Ngaad (Aḥad) ‘Minggu’.
Bahkan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih banyak ditemukan percampuran kedua bahasa. Konon, masyarakat Jawa kuno menggunakan istilah Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon untuk menandai hari. Namun, istilah tersebut masih marak digunakan hingga saat ini untuk menandai kelahiran atau kematian seseorang, serta menjadi patokan waktu dalam melaksanakan acara tertentu, seperti Kemis Pahing, Jumuwah Kliwon, Saptu Legi, dst.
Sebaliknya, terdapat pula
kosakata bahasa Arab yang diserap ke bahasa Jawa dengan perubahan makna. Hal
ini muncul sebagai akibat proses akulturasi, seperti kata deres (Jawa)
yang berarti membaca Alquran.
Kata ini berasal dari darasa
(Arab) yang artinya adalah belajar. Masyarakat yang tinggal di Jawa dengan
tradisi Islam
yang kental seringkali mendengar istilah ini. Kebanyakan para orang tua akan
meminta anak-anaknya untuk deres Alquran, dengan harapan, anak-anak
dapat segera katam (Jawa)—khatm (Arab) yang berarti selesai
atau tamat.
Kemudian
Jimat Kalimasodo
(Jawa) merupakan peninggalan salah satu penyebar Islam di Jawa, Sunan Kalijaga.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa gemar bermain wayang kulit (gambar
manusia), dan hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Tatkala Sunan Kalijaga
datang, ia tidak langsung menghapus tradisi tersebut. Ia mengganti gambar
manusia dengan menciptakan karikatur berestetika tinggi pada kulit kambing.
Melalui wayang kulit, ia memperkenalkan salah satu lakon berjudul Jimat Kalimasodo, yang
mana kata ini berasal dari kalimah syahādah (Arab).
Sekaten
(Jawa) berasal dari syahādatain
(Arab). Dalam masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di Daerah Istimewa
Yogyakarta, sekaten telah menjadi tradisi tahunan. Festival ini berupa
penyelenggaraan pasar malam yang dilaksanakan selama dua hingga tiga minggu di
bulan Mulud (Jawa). Pengunjung dapat
menikmati beragam permainan wahana, mencicipi kuliner, hingga berbelanja pernak
pernik. Puncak dari festival ini adalah upacara sekaten yang disebut Grebeg Maulud (Jawa).
Mulud (Jawa) berasal dari kata maulid
(Arab) yang berarti kelahiran. Grebeg Maulud merupakan tradisi masyarakat
Jawa yang dikenalkan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi ini bertujuan untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Yogyakarta, festival ini diawali
dengan pawai abdi dalem keraton
yang mengarak gunungan makanan. Gunungan merupakan simbol kemakmuran Keraton
Yogyakarta yang mana seluruh makanan tersebut akan dibagikan kepada masyarakat
di akhir festival.
No comments:
Post a Comment