Bahasa Jawa dan Arab: Dari Komunikasi ke Akulturasi (bagian 2)

Dok. History Nusantara

Beberapa kosakata bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa tanpa perubahan makna, antara lain: asma (asmā’)nama, bakdo (ba’da) ‘setelah’, bathin (bāţin) ‘batin’, dhayo (uyūf) ‘tamu’, dongo (du’ā) ’doa’, eklas (ikhlās) ‘ikhlas’, ngapuro (ghafara) ‘memaafkan’, paham (fahm) ‘paham’, kuburan (qubūr) ‘makam’, siyam (iyām) ‘puasa’, wektu (waqt) ‘waktu’, pekir (faqīr) ‘fakir’, Senɛn (iśnain) ‘Senin’, Selasa (śulaśa), Rebo (arbi-ā’) ‘Rabu’, Kemis (Khamis) ‘Kamis’, Jumuwah (Jumu’ah) ‘Jumat’, Saptu (Sabt), Ngaad (Aad) ‘Minggu’.


Bahkan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih banyak ditemukan percampuran kedua bahasa. Konon, masyarakat Jawa kuno menggunakan istilah Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon untuk menandai hari. Namun, istilah tersebut masih marak digunakan hingga saat ini untuk menandai kelahiran atau kematian seseorang, serta menjadi patokan waktu dalam melaksanakan acara tertentu, seperti Kemis Pahing, Jumuwah Kliwon, Saptu Legi, dst.


Sebaliknya, terdapat pula kosakata bahasa Arab yang diserap ke bahasa Jawa dengan perubahan makna. Hal ini muncul sebagai akibat proses akulturasi, seperti kata deres (Jawa) yang berarti membaca Alquran. Kata ini berasal dari darasa (Arab) yang artinya adalah belajar. Masyarakat yang tinggal di Jawa dengan tradisi Islam yang kental seringkali mendengar istilah ini. Kebanyakan para orang tua akan meminta anak-anaknya untuk deres Alquran, dengan harapan, anak-anak dapat segera katam (Jawa)khatm (Arab) yang berarti selesai atau tamat.

Kemudian Jimat Kalimasodo (Jawa) merupakan peninggalan salah satu penyebar Islam di Jawa, Sunan Kalijaga. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa gemar bermain wayang kulit (gambar manusia), dan hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Tatkala Sunan Kalijaga datang, ia tidak langsung menghapus tradisi tersebut. Ia mengganti gambar manusia dengan menciptakan karikatur berestetika tinggi pada kulit kambing. Melalui wayang kulit, ia memperkenalkan salah satu lakon berjudul Jimat Kalimasodo, yang mana kata ini berasal dari kalimah syahādah (Arab). 

Sekaten (Jawa) berasal dari syahādatain (Arab). Dalam masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, sekaten telah menjadi tradisi tahunan. Festival ini berupa penyelenggaraan pasar malam yang dilaksanakan selama dua hingga tiga minggu di bulan Mulud (Jawa). Pengunjung dapat menikmati beragam permainan wahana, mencicipi kuliner, hingga berbelanja pernak pernik. Puncak dari festival ini adalah upacara sekaten yang disebut Grebeg Maulud (Jawa).

Mulud (Jawa) berasal dari kata maulid (Arab) yang berarti kelahiran. Grebeg Maulud merupakan tradisi masyarakat Jawa yang dikenalkan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Yogyakarta, festival ini diawali dengan pawai abdi dalem keraton yang mengarak gunungan makanan. Gunungan merupakan simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta yang mana seluruh makanan tersebut akan dibagikan kepada masyarakat di akhir festival.

Khoirin Nikmah, pengajar bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).



No comments:

Post a Comment

Pages